Perguruan Tinggi yang Dibutuhkan Masyarakat


Memasuki milenium ketiga, berarti kita menginjakkan kaki di dunia tanpa batas. Sebab, milenium ketiga ditandai oleh informasi,  komunikasi dan iptek yang kian meroket dan tersebar dengan cepat. Dalam kondisi semacam itulah Perguruan Tinggi (PT) kita hidup dan mengembangkan diri. Dalam kerangka ini, paradigma lama yang masih melekat di sebagian PT perlu dikaji ulang.  Sistem sentralistik yang memosisikan PT di menara gading, memerlukan peninjauan visi-misi. Tidak saja Perguruan Tinggi  Negeri (PTN) tapi juga Perguruan Tinggi Swasta (PTS). Baik yang di bawah binaan Departeman Pendidikan Nasional (Depdiknas) maupun yang berteduh di bawah payung  Kementerian Agama (Kemenag) dan lainnya.
Visi-misi di alam global yang sarat persaingan kini—tak terkecuali persaingan “memperebutkan” mahasiswa, setidaknya terpaut dua dimensi yang saling berjalin-kelindan. Pertama dimensi lokalisme, dan yang kedua dimensi globalisme. Yang disebut penggal awal, sejatinya PT kita memiliki unsur akuntabilitas, relevansi, kualitas, otonomi kelembagaan dan jaringan kerja sama. Sedang yang dibilang kedua, PT dituntut punya aspek kompetitif, mutu dan networking. Baik sesama PT dalam negeri maupun  dengan PT luar negeri.

Akuntabilitas berarti seberapa jauh PT memaknai the share holder dengan masyarakat. Soalnya, PT yang tak punya nilai akuntabilitas, masyarakat enggan untuk berpartisipasi dikarenakan dua sebab. Pertama masyarakat nyaris tak punya rasa memiliki (sense of belonging), dan yang kedua masyarakat merasa tak punya tanggung-jawab moral bagi pengembangan ke depan. Makanya, sebagai sebuah “industri jasa” (dalam konteks menggali dan mengembangkan ilmu), PT perlu “mencikaraui” kebutuhan perkembangan ekonomi/tenaga kerja yang dibutuhkan  masyarakat lokal/daerah. Tegasnya, PT yang berobsesi bertahta di hati mahasiswa/masyarakat, perlu menjamah  land-grant college, seperti yang dikembangkan PT favorit di Amerika Serikat/AS dan China.
Di China misalnya, PT disingkronisasikan dengan kebutuhan ekonomi/tenaga kerja. Dengan kata lain, China membangun PT yang terintegrasi dengan pembangunan ekonomi di daerah-daerah yang menjadi pusat-pusat pertumbuhan. Sebut saja di Shenzhen, Zhuhai, Shanghai, Guanzhou, dan lainnya. Di era persaingan global yang kian merangkak maju kini, China bukan saja siap dengan tenaga kerja terampil yang jumlahnya mencapai 760 juta orang, melainkan juga memiliki tenaga kerja terdidik plus berkompetensi tinggi dan menguasai teknologi. Bayangkan, pada 2003 lalu saja, China mampu melahirkan sarjana sains dan ketekhnikan sejumlah 700 ribu orang, sedang AS hanya 60 ribu orang.                                                      
Sekaitan dengan itu, relevansi program pendidikan dengan kebutuhan riil mahasiswa/masyarakat serta keikut-sertaan dunia kerja dan industri merupakan keharusan mutlak. Kebutuhan masyarakat/mahasiswa di sini, tidak hanya berdimensi tangible (konkret), lebih dari itu juga menyentuh kebutuhan-kebutuhan yang bersifat intangible asset. Misalnya kebutuhan: budaya, moral, etika, estetika dan kebutuhan agama atau spiritual yang berdenyut dalam satu komunitas.
Bagaimana aspek kualitas? Tidak dapat dibantah bahwa PT adalah kumpulan sumber daya manusia (human resources) tingkat tinggi (hight level) yang punya gawe jadi agent of social change di kancah kehidupan masyarakat. Oleh sebab itu, PT punya tupoksi (tugas pokok dan fungsi) menyiapkan mahasiswa menjadi pemimpin masyarakat baik formalider maupun informalider. Guna mendongkrak kualitas,  diperlukan tenaga dosen yang kualified.  PT yang masih berkutat memanfaatkan dosen berlatar-belakang pendidikan  strata 1, cepat atau lambat akan kurang dilirik calon mahasiswa. Sejalan dengan itu, PT yang ingin berprediket papan atas, mestilah akrab dengan dunia penelitian. Terutama yang diperlukan  masyarakat serta pengambil kebijakan/pemerintah. Atau riset yang berfaedah bagi pengembangan ilmu pengetahuan (knowledge of development).
Dan, untuk bisa lebih mengepakkan sayap dalam konteks pengembangan mutu itu tadi, PT membutuhkan otonomi dalam arti menyeluruh. Tidak saja otonomi dalam bentuk kebebasan akademik plus kebebasan mimbar akademik, tapi juga otonomi lembaga dalam ihwal manajemen, penyusunan program dan sisi yang bersentuhan dengan bujet. Dengan begitu,  PT sebagai satu lembaga akan lebih bersikap kreatif dan lebih memosisikan diri menjadi pelopor perubahan dalam kemajuan ilmu pengetahuan yang berguna bagi masyarakat, utamanya masyarakat di sekitar di mana PT tersebut tegak-berdiri.
Yang tidak kalah penting, mengingat PT bukanlah sebuah self sufficient institution, apalagi di dunia terbuka kini, diperlukan kerja sama dalam bentuk mitra sejajar antara PTN dengan PTN, PTS dengan PTS, dan antara PTS dengan PTN. Lewat kerja sama yang didasari rasa tanggung jawab (sense of responsibility) bersama mencerdaskan anak bangsa, secara gradual namun pasti akan terjadi kemajuan signifikan  di PT masing-masing (PTN dan PTS). Harapan lebih menukik, sumber-sumber yang tersedia akan saling melengkapi sehingga terwujud efisiensi. Bila sudah begitu, pada saatnya nanti PTN dan PTS bukannya bersaing—katakanlah  “menangguk” (merekrut) calon mahasiswa, tapi bergandengan bahu demi mendidik dan mencerahkan  calon pemimpin bangsa kelak! Wallahu a’lam bish shawab.


Jika Anda Menyukai Artikel ini Mohon KLIK DISINI dan sebarkan pada yang lain melalui jejaring di bawah ini

3 Komentar

Filed under Pendidikan

3 responses to “Perguruan Tinggi yang Dibutuhkan Masyarakat

  1. Terima kasih informasinya, ini akan menjadi tambahan wawasan saya untuk bersikap di waktu yang akan datang, thank you

    ________________________________

  2. benar sekali gan ,, harus bahu membahu dan bersama agar bangsa ini makin maju,,

Tinggalkan komentar