Seorang Putra Bonjol Harus Bertanggungjawab Atas Tewasnya Ratusan Orang Setelah Disuntik Vaksin


(elsaelsi.com) – Vaksinasi itu telah menorehkan catatan menyedihkan sekaligus memedihkan. Meskipun akhirnya  justru menyematkan nama-nama mereka dalam guratan tinta emas rekaman sejarah.

Saat itu Agustus 1944. Jepang mengumpulkan para romusha  di bedeng transit di Klender, Jakarta Timur. Para romusha tersebut diambil dari desa-desa di Jawa. Sebelum diberangkatkan ke Birma (kini Myanmar) sebagai pekerja paksa untuk membangun jalan kereta api, mereka lebih dulu divaksinasi TCD (tifus, kolera, disentri).

Agar tidak rusak, vaksin yang berasal dari Pasteur Instituut Bandung itu sebelum digunakan disimpan dalam alat pendingin di Eijkman Instituut. Malang tak dapat ditolak mujur tak dapat diraih, seminggu setelah disuntik vaksin, ratusan romusha meninggal dunia. Dokter Indonesia di Ika Daigaku Byoing yang meneliti menyimpulkan kematian tersebut akibat bakteri tetanus yang mencemari vaksin. Ironisnya, justru mereka yang kemudian diseret Jepang. Begitu pun para dokter dari Eijkman Instituut, termasuk kepalanya, Prof. dr. Achmad Mochtar. Bahkan para analis dan petugas laboratoriumnya pun ikut ditangkap.

Mereka ditahan di markas kempetai (polisi militer Jepang) di bekas gedung Rechts Hogeschool (Sekolah Tinggi Hukum), di Jalan Merdeka Barat (sekarang Hankam). Berbulan-bulan disekap, diinterogasi, dan disiksa. Dua diantaranya – yang pada saat vaksinasi bertugas menyuntik – meninggal dalam tahanan, yaitu dr. Soelaiman Siregar dan dr. Marah Arief.

Menurut sumber sejarah berupa kesaksian salah seorang teman mereka sesama dokter pada masa itu, digambarkan akibat kekejaman Jepang terhadap mereka bahwa tubuh Soelaiman seluruhnya bengkak. Mukanya menggelembung seperti balon. Kedua kakinya luka parah. Dari pinggang sampai telapak kaki penuh bekas sayatan pisau, dan dikerubuti lalat. Tubuhnya seperti macan tutul, saking banyaknya bekas sundutan rokok. Sementara Arief juga menderita hal yang hampir sama. Kedua kakinya remuk. Sekalipun ada teman mereka yang sudah berupaya menyelamatkannya dengan menyelundupkan obat trisulfa, nyawa Soelaiman dan Arief tetap tak tertolong.

Kesewenang-wenangan Jepang tak juga berhenti meskipun salah seorang dokter dari Eijkman Instituut yang ditahan yaitu Prof. dr. Ali Hanafiah telah mengemukakan alasan yang cukup masuk akal. Menurutnya, mustahil vaksin itu dihasilkan oleh Eijkman Instituut, karena pada masa itu di sana tak ada peralatan pembuatan vaksin. Maka satu-satunya yang patut dipertanyakan keterlibatannya mestinya adalah Pasteur Instituut, karena di sanalah vaksin yang belakangan diketahui tercemar itu dibuat. Namun kempetai tetap tak terima, dengan alasan bahwa Pasteur Instituut itu dipimpin orang Jepang dan orang Jepang mustahil melakukan kesalahan semacam itu.

Tak tahan melihat kawan-kawannya disiksa, Prof. dr. Achmad Mochtar, sebagai kepala Eijkman Instituut, mendesak kempetai, dialah yang akan mempertanggungjawabkan kasus tercemarnya vaksin tersebut. Sekalipun keteledoran itu bukan di pihak mereka, karena vaksin itu hanya menumpang disimpan di lemari pendingin dan hal ini tak mungkin bisa menimbulkan pencemaran.

Atas jaminan dan tanggungjawab Achmad Mochtar tersebut, maka tahanan lain satu demi satu dibebaskan. Sebagian menderita cacat fisik. Namun fatal akibatnya bagi Mochtar. Ia dianiaya dan dibunuh Jepang di Ancol, daerah yang juga digunakan Jepang untuk membantai Belanda. Sehingga tidak ada yang tahu dimana beliau dimakamkan, setidaknya sampai Jepang menyerah kepada Sekutu dan angkat kaki dari Indonesia.

Menurut informasi yang beredar luas di internet, makam Achmad Mochtar baru ditemukan pada tahun 2010 lalu. Namun berdasarkan penelusuran penulis, pada tahun 1995 sudah ada wartawan media cetak yang berkunjung ke tempat pembantaian tawanan Jepang di Ancol, yang juga diyakini sabagai tempat eksekusi Achmad Mochtar oleh tentara Jepang. Kunjungan tersebut menyisakan catatan sebagai berikut.

Setelah  Belanda masuk kembali ke Indonesia pada tahun 1946, Belanda menjadikan medan pembantaian itu sebagai taman makam pahlawan, yang hingga kini dikenal sebagai Ereveld Ancol.. Dan pada waktu itulah makam dr. Achmad Mochtar ditemukan diantara makam para “pahlawan” Belanda.

Di batu nisan hanya tertulis keterangan singkat : Achmad Mochtar. Namun di kantor makam bisa ditemukan keterangan yang lebih lengkap, Mochtar Achmad, Sumatra, Prof. dr. Medische School Jakarta, 54, geexecuteerd 3-7-45, Antjol 1946 (Prof. dr. Achmad Mochtar kelahiran Sumatra, dari Sekolah Kedokteran Jakarta, berusia 54 tahun, pelaksanaan hukuman mati 3 Juli 1945, dimakamkan di Ancol pada 1946).

Sekilas Mengenai Achmad Mochtar

Prof. dr. Achmad Mochtar, yang dilahirkan di Ganggo Hilia, Bonjol, Pasaman, Sumatera Barat, 10 November 1890, adalah seorang dokter dan ilmuwan Indonesia. Ia merupakan orang Indonesia pertama yang menjabat direktur Lembaga Eijkman, sebuah lembaga penelitian biologi di Jakarta yang didirikan pada masa pendudukan Belanda.

Achmad Mochtar adalah anak pasangan suami isteri Omar dan Roekajah. Omar sang ayah adalah seorang guru yang berasal dari Mandailing, Sumatra Utara, sedangkan Roekayah adalah putri asli Bonjol, cucu seorang Larashoofd (Kepala Laras). Sewaktu masih kecil, Mochtar sering dibawa pindah orang tuanya karena seorang guru sering dipindah (dimutasi) tempat tugasnya. Ia melanjutkan sekolah menengah di Batavia.

Menurut sumber lain, ayah Achmad Mochtar diduga bernama Mochtar, darimana Achmad Mochtar diyakini mendapatkan nama belakangnya. Guru Mochtar adalah seorang guru yang berpindah-pindah dari Mandailing ke Sumatera Barat dan Sumatera Selatan. Dalam surat kabar De Indische courant (17-02-1926) ditulis bahwa Guru Mochtar adalah guru pribumi yang sangat memperhatikan pendidikan penduduk pribumi. Dalam usia tinggi Guru Mochtar masih aktif di dunia pendidikan sebagai kepala sekolah HIS di Moearaenim (Bataviaasch Nieuwsblad, 13-07-1937). Disebutkan pula, Mochtar gelar Soetan Negeri sebelum menjadi guru HIS mengikuti kursus guru utama di Bandoeng.

Achmad Mochtar lulus dari sekolah kedokteran STOVIA di Batavia pada 21 Juni 1916. Beliau masuk STOVIA tahun 1907 dan lulus tepat waktu.. Tidak ditemukan keterangan dimana Achmad Mochtar menyelesaikan pendidikan ELS (Europesch Lager School). Pada tahun 1908, Achmad Mochtar lulus ujian kelas satu tingkat persiapan (Bataviaasch nieuwsblad, 19-09-1908).

Achmad Mochtar memulai kariernya sebagai dokter di desa terpencil Panyabungan, Sumatera Utara selama dua tahun. Ketika bertugas di Panyabungan, Achmad Mochtar bertemu dengan peneliti berkebangsaan Belanda bernama W.A.P Schüffner yang kala itu sedang meneliti malaria. Schüffner kemudian menjadi mentor bagi Achmad Mochtar. Berkat pengaruh Schüffner, pemerintahan kolonial Belanda mengirim Achmad Mochtar untuk mengikuti program doktoral di Universitas Amsterdam.

Disertasi yang diselesaikannya pada tahun 1927 menyangkal leptospira sebagai penyebab demam kuning, sebagaimana yang diketahui ilmu kedokteran pada masa itu. Achmad Mochtar kembali ke Hindia Belanda di tahun yang sama dan melanjutkan penelitian tentang leptospirosis. Mochtar berpindah-pindah tempat tinggal dari Bengkulu, Sumatera Barat, hingga Semarang. Dia aktif menghasilkan karya ilmiah yang dipublikasikan di berbagai jurnal ternama. Pada tahun 1937, ia bergabung dengan lembaga penelitian The Central Medical Laboratory yang setahun kemudian berganti nama menjadi Lembaga Eijkman atau Eijkman Instiuut.. Pada tahun 1942, Jepang menduduki Indonesia dan menangkapi orang-orang berkebangsaaan Belanda, termasuk direktur Lembaga Eijkman pada masa itu yang bernama W.K. Martens. Martens meninggal akibat beri-beri saat berada dalam penyekapan militer Jepang. Oleh karena itu, Achmad Mochtar diangkat menjadi pemimpin Lembaga Eijkman dan merupakan orang Indonesia pertama yang menduduki jabatan tersebut. (Syamsuddin)

Tinggalkan komentar

Filed under Sejarah

Tinggalkan komentar