Manusia Telah Menghancurkan Bumi Secara Perlahan


Tiap 21 April, bangsa Indonesia selalu memperingati Hari Kartini. Tapi, pada 22 April, kita nyaris lupa, hari itu adalah “Hari Bumi”. Menurut Nasfryzal Carlo, Ketua Pusat Studi Lingkungan dan Guru Besar FTSP Universitas Bung Hatta, Padang (2011): “Hari Bumi ditetapkan atas usul Sekretaris PBB, U Than—yang dicanangkan pertama-kali Prof. John Mc-Connel, pada 1 Maret 1970. Usulan bernas U Than tersebut, dijadikan momentum semua umat manusia berpikir kembali ihwal nasib bumi—sebuah planet yang kini dihuni miliaran anak manusia”.
Sedang mengacu analisa The Population Council – seperti dikutip pakar IPB Prof. Ir. Rokhmin Dahuri (mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Laut RI), di forum International Confrence of Islamic Scholars (ICIS) 20 – 21 Juni 2006 lalu, di Jakarta dikatakan: sepuluh ribu tahun SM – penghuni bumi secara kuantitatif baru terpaut angka 5 juta jiwa. Kisaran 12 ribu tahun kemudian (1650 M), angka tersebut membengkak drastis menjadi 545 juta jiwa. Memasuki gerbang abad ke-21, lonjakkan penduduk bumi masih fantastis. Kepadatannya melaju 40 jiwa per kilometer bujursangkar – dengan jumlah keseluruhan diprediksi melampaui angka 6,2 miliar jiwa.

Di Indonesia sebagai belahan sesudut bumi, laju pertumbuhan penduduk juga cukup kencang. Berdasarkan data valid dan akurat, kini saja sudah melebihi angka 237,6 juta jiwa – itupun telah menggenjot habis-habisan program keluarga berencana (KB). Dari jumlah sebanyak itu, 60 persen terkonsentrasi di pulau Jawa – yang luas daratannya cuma 6 persen dari total areal Indonesia.
Diperkirakan para analis, pada akhir 2012, penduduk Indonesia menempati angka 263 juta jiwa, dan 35 tahun setelah itu, meroket menjadi 316 juta jiwa. Masih dalam kerangka asumsi, khusus Pulau Jawa pada tahun yang sama bakal melambung sebanyak 193 juta jiwa – nyaris sebesar penduduk Indonesia kini. Sedang pada perspektif lain, dengan kian menggelembungnya kuantitas penduduk – tekanan terhadap lingkungan hidup nampak terang-benderang semakin hebat dan bahkan kian menggila. Ratusan juta hektar hutan dikonversi untuk pemukiman, pertanian, pertambangan dan industri – skala kecil, menengah atau kakap.
Yang disebut penggal akhir, malah gigih mengepakkan sayapnya sampai ke sawah-ladang dan perumahan penduduk. Nyaris di pelbagai pojok, berdiri megah perusahaan dan pabrik – dengan segala limbah yang membuat lingkungan kumuh bertambah kumuh.
Akibat eksploitasi alam kian intensif, ekstensif dan diversif – ditukuk illegal logging kian serius, misterius bahkan sulit diurus, terjadilah apa yang mestinya tak terjadi. Apalagi kalau bukan degradasi kualitas plus kuantitas lingkungan. Ibarat rumah, kini tempat berteduh manusia ini gentengnya bocor dan pecah berkeping-keping. Kayunya kropos, dinding dan lantainya retak berbingkah.
Bila sudah begitu, tak ayal lagi – banjir, longsor, galodo, dan juga gempa bumi pun menghantam anak-negeri. Yang membuat air mata meleleh, selain kerugian harta-benda – bahkan nyawa manusia melayang tanpa dapat ditolong. Semua ini, akibat ulah segelintir manusia sangat rakus, ambisius dan melampaui batas-batas moral, kultural, transendental dan spritual. Tepat sinyalemen Allah dalam Al quran : “Meruyaknya kerusakan di darat, di laut dan di udara adalah karena ulah tangan-tangan jahil manusia” (QS. Asy-syura ayat 30).
Karena perkara lingkungan hidup bagian teramat penting dari ekosistem kehidupan semua makhluk bumi, pihak eksekutif, legislatif dan yudikatif – termasuk habitat kepolisian dan ketentaraan sebagai orang punya gawe, power dan fasilitas – pada hemat penulis: wajib secara syar’iyah lebih peduli lingkungan hidup – yang seimbang, selaras, dinamis – terutama jika dipertautkan dengan perkembangan penduduk hampir tak terkendali itu tadi.
Komitmen, visi-misi, keteladanan dan tindakan konkret trio penguasa itu, jelas sebuah keharusan mutlak. Sebab, meminjam teori Prof. Dr. Amien Rais, (1999): “seekor ikan – busuk justru berawal dari kepalanya”!
Dan, yang tak kalah penting, dunia usaha/pebisnis – apapun jenis produk yang digumuli – berujud atau tak berujud (tengible and intengible) pun harus komit ihwal lingkungan hidup. Soalnya, perusahaan tak ramah lingkungan – cepat atau lambat diketahui masyarakat bahkan bisa ditinggalkan konsumen. Bukankah perusahaan dilabelisasi bonafid, tidak hanya berpikir mempergemuk pundi/finansial. Tapi, punya obsesi meraup konsumen loyal berkredo costumer satisfaction (kepuasan pelanggan). Dalam istilah marketing, itulah yang disebut: relationship of stakeholders.
Itu saja belumlah cukup. Komponen masyarakat – yang di alam reformasi, demokratisasi dan otonomi kini berposisi sebagai subjek, sejatinya pula gigih membuat alam lebih damai, lebih hijau, lebih asri, lebih cantik, lebih anggun serta bisa menyuguhkan sejuta kenikmatan (comfort much) bagi penghuninya.
Dalam perspektif budaya, bukankah nenek-moyang kita mewariskan satu adagium: malabihi ancak-ancak, mangurangi sio-sio. Bumi sanang, padi manjadi, taranak bakambang-biak (Melebihi baik, mengurangi sia-sia. Bumi indah, pepohonan subur dan binatang berkembang-biak). Dan, pada kultur Jawa bukankah ada pula satu pelajaran “hayuning bowono”.
Satu lagi, dan ini sangat mendesak bahkan menyentak nyaris tak terkendali, ke depan malah sekarang juga. perlu lebih dikembangkan inventarisasi plus evaluasi sumber daya alam level nasional, provinsi, kabupaten/kota dan bahkan menjamah hingga tingkat kecamatan dan nagari. Sebab, di Provinsi Sumatra Barat yang kini dinakhodai Irwan Prayitno dan Muslim Kasim, cukup luas terbentang hutan-hutan lindung yang di bawahnya konon bertumpuk barang tambang – yang dilirik banyak investor.
Hanya saja, melacak kerusakan hutan – ibarat penyakit, tak mempan lagi dengan pil generik, tapi mesti lewat amputasi. Maka, stakeholders kehutanan baik pengambil kebijakan atau yang menggumuli tupoksi (tugas pokok dan fungsi) teknis-operasional, mesti merenung-panjang, kalau langkah yang dianyam, tidak lain adalah strategi pembangunan berkelanjutan. Barometernya? Mengandung orientasi jelas, khas, mencukam, mengerucut lagi terukur, dan me-nomor-satukan ketenangan/kemaslahatan rakyat sampai ke anak-cucu kelak!
Lebih konkret lagi, alam beserta penghuninya kini tengah mendambakan orang yang mampu mendudukkan interaksi dan variasi elemen kependudukan dan lingkungan hidup secara proporsional lagi profesional. Sebab, kalau masih mau berjujur-jujur, keseimbangan ketiga aspek inilah sebenarnya yang bisa membawa negeri/daerah ini pada sungkup adil, makmur dan sejahtera, berciri masyarakat madani (civil society) – yang acap-kali dipidatokan dengan mulut berbusa itu. Fa’tabiru ya ulil albab.


Jika Anda Menyukai Artikel ini Mohon KLIK DISINI dan sebarkan pada yang lain melalui jejaring di bawah ini

1 Komentar

Filed under Lingkungan Hidup

1 responses to “Manusia Telah Menghancurkan Bumi Secara Perlahan

  1. Ikutan menyimak informasi yang diberikan nya mbak

Tinggalkan komentar