Akhirnya Iran Berhasil Mengalahkan Amerika


Siapa tak kenal salah seorang Presiden Iran Dr Mahmoud Ahmadinejad! Seperti pernah diberitakan mass media cetak dan elektronik, Ahmadinejad yang  kerap menyebut dirinya sebagai khadamu al-ummah alias pelayan masyarakat itu, pernah menggelindingkan statemen “bagak” dan berani : “Agar Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK-PBB) menghapus hak veto bagi lima negara anggota tetap, yaitu Amerika Serikat (AS), Inggris, China, Prancis dan Rusia”
Pernyataan Presiden Iran—yang terbilang tabu dilafazkan petinggi negara manapun di bawah kolong langit ini, mengingatkan kita pada Revolusi Islam di Iran yang klimaksnya berkelebat pada Februari—April 1979. Sebuah revolusi spritual dan kultural lagi spektakuler yang dapat mengubah peta politik negara-negara Timur Tengah. Betapa tidak? Revolusi yang diarsiteki ulama kharismatik Ayatullah Ruhullah Khomeini dan cendikiawan terkemuka Dr Ali Syariati serta ditopang penuh mahasiswa/masyarakat, berhasil menumbangkan diktatorial Mohammad Reza Syah Pahlevi  yang mewarisi kursi kekuasaan secara turun-temurun sejak 1925. Bahkan, nama yang populer dengan sebutan Syah Iran—yang dalam buku The Fall of the Syah (Fereydoun, Hoveida, 1980) dijuluki Farmandeh (pemimpin besar tak boleh ditegur), lari terbirit-birit, dan kemudian ditampung oleh bos atau induk-semangnya. Siapa lagi kalau bukan AS.
Meneropong terjungkalnya satu dinasti yang selama ini tak lebih dari boneka Dunia Barat, AS secara psikologis benar-benar mengidapkan apa yang disebut dengan syndrome of ego confrontation dalam menyikapi kekalahannya itu. Apalagi ketika mahasiswa menyandera para diplomat AS di Kedubesnya sendiri—ditemukan sarang espionage nest CIA dan MOSSAD—yang berkualifikasi confidential dan top-secret alias amat sangat rahasia!
Kini, terpaut 30-an tahun lebih usia Republik Islam Iran (RII)—walau sebelumnya diprediksi bahkan dicemoohkan oleh pers barat hanya akan berumur setahun jagung. Apakah negeri yang berhasil secara memukau mendepak rezim Syah yang despotik, opresif dan bertangan besi tersebut, sudah terbebas dari persoalan domestik dan masalah hubungan luar negeri?
Yang disebut penggal akhir, seperti dikedepankan Prof Dr Amien Rais MA (1989):  “prinsip hubungan luar negeri Iran didasarkan penolakan atas semua bentuk dominasi dan non-alignment terhadap negara adidaya yang berkarakter hegemonik”. Namun sebagai negara berdaulat apalagi berbentuk Republik, Iran merajut dan memelihara persahabatan dengan negara manapun di muka bumi ini—selama  tidak menabuh genderang permusuhan.
Lebih dikerucutkan! Setiap kerja-sama, diplomatik atau bilateral yang berakibat pada penguasaan asing atas sumber kekayaan alam (natural resources), ekonomi, angkatan bersenjata, budaya, sumber daya manusia (human resources) dan semua denyut kehidupan lainnya—“dilarang keras”! Begitu termaktub sarkastik dalam konstitusi Republik Islam Iran (RII) tersebut. Rincinya? Terdiri dari 12 bab dan 175 pasal, dan disahkan pada  15 November 1979.
Makanya, tak perlu terkaget-kaget, bila ada negara Dunia Ketiga yang benar-benar bersikap non-blok dan konsekuen tidak berkiblat ke Barat dan ke Timur (laisa al-maghrib wal masyriq) ″ negara tersebut, tidak lain adalah Republik Islam Iran. Bukan hanya slogan untuk menjuluk hati rakyat dan mahasiswa ketika membidani revolusi dulu. Tapi pada tataran aplikasi, kredo, prinsip dan sikap politik yang selaras dengan roh Islam itu hingga kini dipegang teguh oleh Republik Islam Iran. Bukti konkret, walau pasca revolusi, bergulat dengan ancaman resolusi sebagian negara anggota Dewan Keamanan PBB – yang disutradara-i AS beserta konco-konco palangkinnya, Iran tetap bersikukuh mengembangkan teknologi nuklirnya.
Gayung bersambut  kata berjawab! Selain berurun-rembuk seputar soal domestik (perdagangan, investasi, iptek, pariwisata, energi, budaya dan kilang minyak)—dalam  kunjungan kenegaraan Presiden Mahmoud Ahmadinejad ke Indonesia 4-8 Mei 2006 lalu, Pemerintah Republik Indonesia yang kini dibiduki Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)—menyatakan dukungan penuh terhadap program pengembangan nuklir Iran. “Sebab, setelah dikaji secara jelimet ternyata program tersebut dirancang-bangun untuk meraup kepentingan perdamaian plus kemanusiaan (calm and humanity)”.
Masih dalam konteks dukung-mendukung, mantan Ketua MPR RI Prof Dr HM Amien Rais, MA yang juga pengamat politik luar negeri malah berucap lantang: Presiden Iran dengan program nuklirnya itu, sebenarnya adalah simbol dari bangsa-bangsa terjepit oleh kesombongn/ kepentingan AS dan sekutunya.
Melacak political attitude dan manuver AS dan teman-teman sejawatnya sejak dulu, tidak diragukan lagi bahwa, di balik isu sentral pengembangan nuklir—ada bahkan menggelepar udang di balik batu. Apalagi kalau bukan vested interests penganut tulen politik standar ganda (double standard) ini di Timur Tengah—tak terkecuali terhadap negara berdaulat Republik Islam Iran.
Setelah berhasil gemilang mengeruk dan menguras keuntungan besar pada era Syah Iran dalam rentang waktu 54 tahun – kini AS beserta anak-anak buahnya bernafsu lagi menguasai ladang minyak di Khuzistan, Abadan, Ahwaz, Khuramsar, Dizful dan lain sebagainya.
Dan dalam waktu belakangan, di Iran sedang meletus kekerasan sektarian—mungkin sebagai imbas (contingency) aksi protes rakyat yang telah berkatuntang di Tunisia, Mesir dan Libya. Walau tidak separah ketiga negara kaya minyak tersebut—namun agaknya juga mengganggu pikiran Presiden Iran Dr Mahmoud Ahmadinejad, dalam menata dan membingkai negerinya untuk duduk sama rendah-tegak sama tinggi dengan negara-negara lain di seantero dunia. Wallahu a’lam bish-shawab.


Jika Anda Menyukai Artikel ini Mohon KLIK DISINI dan sebarkan pada yang lain melalui jejaring di bawah ini

Tinggalkan komentar

Filed under Internasional

Tinggalkan komentar