Pelajaran Bagi Umat Islam dari Novelis Murtad Salman Rushdie


Oleh H. Marjohan

Masih ingat Salman Rushdie? Seorang novelis keturunan Pakistan—berkebangsaan  Inggris. Salah satu novelnya yang sempat mangguncang-limeh dunia Islam bertajuk: The Satanic Verses (Ayat-ayat Setan). Saking tersinggungnya puncak kada umat Islam, sampai-sampai pemimpin spritual Iran Ayatullah Rohullah Khomeini menawarkan hadiah “gadang-badagok” bagi siapa yang berhasil menerabas, dan melenyapkan tempurung kepala Salman.

Usai meluncurkan The Satanic Verses —yang menurut Darman Moenir, belum satupun sastrawan menerjemahkannya ke bahasa Indonesia—walau banyak pihak mendambakan, Salman dikerubungi para insan pers: Apakah Anda tak takut dibunuh? “Oh, siapa takut–sama sekali tidak!” Jawab konco-palangkin Shelina, yang juga novelis “murtad”, masih berdarah Pakistan itu, penuh percaya diri.

Sejemput kemudian! Di luar kedengaran bunyi ban mobil yang direm-pakam lagi mendadak, dan lantas diiringi ledakan knalpot. Apa gerangan? Ada mobil nyasar melanyau trotoar. Serta-merta, wajah Salman pucat-pasi, tubuhnya manggaretek, dan lututnya bergoyang – seperti bergoyangnya novel ayat-ayat setan ditebas/dibakar dunia dan umat Islam.

Sepercik pelajaran bernas dapat ditarik! Bila pesan verbal (pesan lisan) bertentangan dengan pesan nonverbal (sikap dan prilaku), maka orang hanya akan mempercayai pesan nonverbal. Si insan pers/wartawan tadi, terang-benderang lebih percaya pada wajah Salman ketimbang kata-katanya yang dipaksakan.

Proses komunikasi baik lewat kata-kata maupun non kata-kata yang beradaptasi atau diadaptasikan si komunikator—sebut saja: pejabat,  birokrat, konglomerat, bapak rakyat, dan lain sebagainya—mesti ekstra hati-hati terutama dalam merancang pesan (massage) yang akan disuguhkan. Soalnya, khalayak atau publik pada hakikatnya adalah mitra sejajar. Bukan objek untuk dikicuh, ditipu dan dibohongi apalagi dibodohi, terutama jelang pemilu dan pilkada.

Namun rumitnya, itulah yang tengah berkelebat hingga kini. Nyaris tiok cecah kita saksikan, di media cetak dan elektronik: betapa para pencandu retorika di negeri ini menatap audiens hanya sebagai ikan-ikan bebal yang siap dipancing dengan pelbagai teknik. Publik seolah hanya diperlakukan seperti sejumlah angka yang dapat dikonversikan menjadi benda-benda materi yang diperlukan. Persetan dengan denyut hati mereka; nilai-nilai yang bergelayut di sekeping hati mereka; dan martabat serta kehormatan yang bertengger pada diri mereka. Padahal dengan kakobeh semacam itu, para aktor dan komunikator politik—baik di zona-zona eksekutif, maupun di ranah-ranah yudikatif, serta di barisan panjang legislstif, bukan saja telah melakukan dehumanisasi terhadap orang lain, tapi sebenarnya juga terhadap diri mereka sendiri.

Kalau kemudian masyarakat bereaksi dengan keras dan bahkan menggerogoti kursi empuk yang sedang dalam genggaman, jangan serta-merta menuduh masyarakat kemasukan makhluk halus dari gunung merapi. Jangan cepat-cepat menghakimi mereka tidak menghargai pendapat yang digulirkan. Soalnya, ya itu tadi, Anda-lah sebenarnya  kadang tidak menghargai segerobak-tundo nilai yang masih bergayut utuh pada diri mereka.

Dr Jalaluddin Rahmat – pakar komunikasi dan cendikiawan muslim terkemuka pernah bilang: “Sebuah pendapat hanya bagian periferal dari kepribadian, sedang nilai (value) adalah jati diri dan eksistensi diri”. Maka, adalah ironis sekali – kita menuntut setengah mati orang menghargai tiap pendapat yang dilontarkan, sementara kita tidak menghormati nilai dan harga diri yang mereka punyai.

Nah, agar krisis retorika, krisis komunikasi dan krisis wacana tidak semakin berlarut-larut di negeri ini – masih ada secercah harapan di hati publik. Macam mana pula bentuknya? Kurangi banyak ngomong, banyak statemen dan banyak pendapat yang tak berkeruncingan. Buktikan seribu janji yang diuber dengan mulut berbusa kala membidani reformasi dan demokratisasi, pada Mei 1998 dulu, dan atau ketika berkampanye dulu, dengan banyak kerja yang berorientasi norma, program plus kerakyatan.

Kalau masih belum mempan juga, akan lebih afdal didalami kembali peringatan dan petunjuk Nabi dalam berkomunikasi secara beradab (fannul khathabah): “khatibunnas ‘ala qadri ‘uqulihim”. Makna bebasnya, berkomunikasi-lah sesama anak manusia secara rasional, profesional, proporsional dan situasional.

Dan, andai dindang-ditampi-tareh-dipiliah atah ciek-ciek! Salman Rushdie beserta pendukung taklidnya bukanlah korban fanatisme agama (baca: Islam). Ia korban dari komunikasi yang biadab, dengan novelnya The Stanic Verses tersebut, hingga melukai nurani umat Islam di bawah kolong langit ini. Wallahu a’lam bish shawab.

Gambarnya punyanya

TENTANG PENULIS


Jika Anda Menyukai Artikel ini Mohon KLIK DISINI dan sebarkan pada yang lain melalui jejaring di bawah ini

3 Komentar

Filed under Komunikasi Massa

3 responses to “Pelajaran Bagi Umat Islam dari Novelis Murtad Salman Rushdie

  1. nila firdausi nuzulah

    software tentang pelajaran islam kyag fikih atau tauhid dsb app ad???

  2. nila firdausi nuzulah

    software tentang pelajaran islam kyag fikih, tauhid dsb add nggk

  3. anti munafik

    SADARLAH………..

Tinggalkan komentar